Jumat, 06 November 2009

Peluang Penggunaan Pupuk Majemuk dan Pupuk Organik dari Limbah Kelapa Sawit

RINGKASAN.
Pemupukan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan produktivitas tanaman. Ketersediaan pupuk secara tepat dosis dan tepat waktu sering menjadi masalah bagi pekebun kelapa sawit. Dalam hal ini pemakaian pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif untuk menjamin penyediaan seluruh hara secara tepat waktu dan seimbang di dalam tanah. Sementara aplikasi pupuk organik dari limbah kelapa sawit merupakan langkah penting dalam memperbaiki kesuburan tanah, yang pada akhirnya dapat mengurangi penggunaan pupuk an‐organik. Tandan kosong kelapa sawit dan limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan dua limbah utama yang memiliki kandungan hara cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara maupun sebagai bahan pembenah tanah. Pupuk organik dari limbah kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman hortikultura.
Kata kunci : pupuk organik, pupuk majemuk, kelapa sawit.

1. Pendahuluan

Perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat di Indonesia, dimana pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan mencapai 5,3 juta ha (Tabel 1). Kondisi lahan perkebunan tersebut sangat beragam, mulai dari yang subur dan sesuai untuk perkebunan kelapa sawit hingga lahan‐lahan marginal yang kurang subur. Tanaman kelapa sawit banyak menempati tanah‐tanah yang bereaksi masam sampai agak masam. Tanah‐tanah tersebut memiliki tingkat kesuburan kimia yang rendah, dengan kesuburan fisik yang beragam mulai yang rendah hingga cukup baik.
Upaya pemupukan secara berkesinambungan menjadi satu keharusan untuk mendukung produktivitas tanaman yang cukup tinggi mengingat kelapa sawit tergolong tanaman yang konsumtif terhdap unsur hara. Tercapainya produksi TBS yang optimal dan kualitas minyak yang baik merupakan tujuan dari pemupukan pada tanaman kelapa sawit. Kekurangan salah satu unsur hara akan menyebabkan tanaman menunjukkan gejala defisiensi dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan vegetatif serta penurunan produksi tanaman. Beberapa penelitian telah menunjukkan besarnya respon tanaman terhadap pemupukan, yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

Biaya pemupukan tergolong tinggi, kurang lebih 30% dari total biaya produksi atau 40‐60% dari total biaya pemeliharaan (Rp 53.260‐,/ton TBS). Biaya pemupukan yang tinggi tersebut menuntut pihak praktisi perkebunan untuk secara tepat menentukan jenis dan kualitas pupuk yang akan digunakan dan mengelolanya sejak dari pengadaan hingga aplikasinya di lapangan. Ketepatan penyediaan semua jenis pupuk di kebun merupakan masalah yang selalu dihadapi pekebun untuk mencapai keseimbangan hara sesuai yang dianjurkan rekomendator pemupukan. Namun demikian, adanya berbagai jenis pupuk di pasar termasuk pupuk majemuk memberi peluang pada pekebun untuk memilih pupuk‐pupuk yang tepat bagi tanaman, dan mudah menanganinya. Selain itu bahan organik pada perkebunan kelapa sawit yang melimpah merupakan sumber hara yang perlu dimanfaatkan untuk tanaman kelapa sawit maupun tanaman lain.

2. Pentingnya Pemupukan Pada Tanaman Kelapa Sawit

Sebagian besar perkebunan kelapa sawit tersebut merupakan lahan kelas S3 (agak sesuai) yang umumnya merupakan lahan marjinal khususnya dalam hal kesuburan tanahnya sehingga keberhasilan pengusahaan perkebunannya sangat tergantung pada aplikasi pemupukan. Kebun kelapa sawit yang ada pada tahun 1999 sebagian besar berada di kelas S3 (agak sesuai) sekitar 38%, cukup besar di kelas S2 (sesuai) sekitar 28%, dan sangat sedikit di kelas S1 (sangat sesuai) sekitar 5%, serta di kelas NS (tidak sesuai). Kebun di lahan kelas S1 dan S2 hanya di jumpai di Sumatera khususnya di Sumatera Utara, sedangkan di luar Sumatera Utara umumnya berada di kelas S3 dan S2.

Kebutuhan pupuk sebagai salah satu input dari system produksi kelapa sawit cukup besar seiring dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan bahan tanaman dengan potensi produksi yang tinggi, serta penerapan kultur teknis lainnya secara lebih intensif sehingga mampu mengurangi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Kelapa sawit memerlukan pemupukan baik pada tahap pembibitan, tanaman belum menghasilkan (TBM), maupun tanaman menghasilkan (TM). Tanaman kelapa sawit memerlukan pupuk dalam jumlah yang tinggi, mengingat bahwa 1 ton TBS yang dihasilkan setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg TSP, 7,3 kg MOP, dan 4,9 kg Kiserit. Dengan asumsi tanaman kelapa sawit dipupuk secara penuh, Poeloengan et al (2001) memperkirakan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2002 memerlukan 1,22 juta ton Urea, 0,82 juta ton RP, 0,94 juta ton MOP, dan 0,83 juta ton Dolomit.

3. Realisasi Pemupukan

Pencabutan subsidi pupuk telah menyebabkan naiknya harga pupuk sehingga kemampuan pekebun untuk membeli pupuk menurun. Sejak tahun 1998 realisasi pemupukan yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit masih belum sepenuhnya sesuai dengan sasaran yaitu tepat jenis, dosis, waktu, dan cara. Jenis pupuk yang dipakai dibeberapa kebun masih belum sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Demikian waktu aplikasi pemupukan sering tidak sesuai dengan anjuran akibat sulitnya memperoleh pupuk, selain ketiadaan dana untuk pengadaan pupuk. Realisasi pemupukan pada beberapa perkebunan bervariasi dari 0% (tidak dipupuk) hingga 100% (dipupuk sesuai anjuran) (Tabel 2). Pemupukan yang tidak tepat waktu menyebabkan terjadinya ketidak‐seimbangan hara, menyulitkan pengaturan tenaga kerja di lapangan, dan turunnya efektivitas dan efisiensi pemupukan khususnya jika pemupukan dilakukan pada bulan‐bulan kering atau bulan yang terlalu basah.

Ketepatan pemupukan harus memperoleh perhatian pekebun, mengingat besarnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman. Tanaman yang tidak dipupuk satu kali dapat berakibat penurunan produksi tanaman hingga beberapa tahun. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dapat meningkatkan produksi antara 6‐11% (Foot et al, 1987), 0‐35% (Gurmit, 1989), 5‐92% (Dolmat et al,1989). Beragamnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman tersebut oleh beragamnya jenis tanah, umur tanaman, kondisi iklim dan tingkat pengelolaan kultur teknis yang diterapkan oleh pekebun.

4. Jenis pupuk pada perkebunan kelapa sawit

Pupuk untuk tanaman kelapa sawit dapat dikelompokan menjadi pupuk an‐organik dan organik. Pupuk an‐organik terbagi atas : pupuk tunggal, pupuk campuran, dan pupuk majemuk. Selain itu akhir‐akhir ini juga beredar pupuk mikrobiologis yang mengandung berbagai jenis mikroba. Pemilihan jenis pupuk oleh pekebun disarankan dilakukan secara hati‐hati, mengingat benyaknya jenis pupuk yang beredar di pasar dengan berbagai bentuk dan komposisi hara.

Pupuk tunggal adalah kelompok pupuk yang hanya mengandung satu jenis hara utama. Pupuk tunnggal yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara N,P,K, Mg,
dan Ca pada tanaman kelapa sawit yang umum digunakan adalah Urea dan ZA sebagai sumber hara N. TSP, SP‐36 dan RP sebagai sumber hara P. MOP sebagai sumber hara K, Kiserit dan Dolomit sebagai sumber hara Mg. Pupuk tunggal merupakan pupuk yang paling umum digunakan dalam pemupukan tanaman kelapa sawit, utamanya untuk tanaman menghasilkan. Biaya perunit hara dalam pupuk tunggal masih lebih rendah dibandingkan dengan jenis pupuk majemuk atau jenis pupuk lainnya. Akan tetapi biaya aplikasi pupuk tunggal menjadi lebih mahal, karena hanya satu jenis hara saja yang diaplikasikan pada setiap aplikasi pemupukan.

Pupuk campur merupakan campuran beberapa pupuk tunggal dengan perbandingan sesuai dengan kebutuhan pekebun. Pemakaian pupuk campur diharapkan dapat mengurangi biaya aplikasi khususnya bagi perkebunan yang kesulitan tenaga kerja. Pupuk tunggal yang digunakan sebagai bahan pupuk campur dipilih berdasarkan kandungan hara, serta kesesuaian sifat fisik (ukuran, higroskopisitas dll), maupun sifat kimia (reaksi kimia). Aplikasi pupuk campur jarang ditemukan pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Pupuk majemuk merupakan pupuk yang mengandung dua hara utama atau lebih. Umumnya berbentuk butiran yang seragam, hasil kombinasi beberapa sumber hara melalui proses kimiawi. Pupuk majemuk yang banyak beredar pada perkebunan kelapa sawit mempunyai beragam komposisi hara, dan biasanya dilakukan penambahan beberapa unsure mikro.

Pupuk organic merupakan pupuk yang berasal dari bahan organic, yang berasal dari limbah pabrik kelapa sawit maupun dari sumber lainnya. Hal ini berbeda dari keempat jenis pupuk yang telah disebutkan diatas yang merupakan pupuk an‐organik dari pabrik maupun hasil penambangan.

5. Peluang penggunaan pupuk majemuk pada tanaman kelapa sawit.

Pada tanaman kelapa sawit, pupuk majemuk umumnya digunakan pada tahapan pembibitan dan tanaman belum menghasilkan. Pupuk majemuk yang digunakan di pembibitan adalah pupuk majemuk NPKMg dengan komposisi 15‐15‐6‐4 dan 12‐12‐17‐2, berturut‐turut sebesar 50 dan 230 g/bibit selama di pembibitan utama (9 bulan). Pada pedo‐agroklimat dan umur yang seragam, kebutuhan hara untuk tanaman belum menghasilkan relativ sama, sehingga satu hamparan tanaman dapat memperoleh pupuk majemuk pada dosis dan komposisi kandungan hara yang sama.
Penggunaan pupuk majemuk pada tanaman kelapa sawit menghasilkan belum banyak dilakukan pekebun. Selain biaya per‐unit hara lebih mahal, manajemen aplikasinya juga lebih sulit. Tanaman dalam satu KCD (kesatuan contoh daun) mungkin memerlukan hara dalam jumlah dan komposisi yang berbeda dengan tanaman pada KCD lainnya, sehingga akan menyulitkan aplikasi pupuk majemuk yang memiliki komposisi dan kandungan hara yang telah tertentu. Namun demikian,
saat ini terdapat beberapa produsen pupuk yang mampu menghasilkan pupuk majemuk dengan komposisi sesuai dengan anjuran rekomendator pemupukan, sehingga tidak perlu menambah pupuk tunggal lainnya.
Sulitnya mempertahankan ketersediaan beberapa pupuk tunggal tepat pada waktunya merupakan alasan utama penggunaan pupuk mejemuk agar terdapat keseimbangan hara di dalam tanah. Ketersediaan hara di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu dengan lainnya, seperti pH tanah, KTK tanah, komposisi kation berkaitan dengan efek sinergisme maupun antagonisme di dalam tanah. Dengan demikian satu unsur hara perlu mempertimbangkan unsur hara lainnya agar hara tersebut berada dalam kondisi yang optimum di dalam tanah untuk dapat diserap tanaman. Komposisi ideal kation di dalam komplek pertukaran adalah 65% Ca, 10% Mg, 5% K, serta 20% H (Eckert, 1987). Sementara untuk tanaman kelapa sawit, Sugiyono dan Poeloengan (1998) mengemukakan angka 10% K, 60% Ca, dan 30% Mg berdasarkan pada berbagai pengamatan kondisi tanah di Indonesia. Ketidakseimbangan hara akan berakibat terganggunya ketersediaan salah satu hara bagi tanaman, seperti kasus antagonisme antara K dan Ca yang dilaporkan oleh Ollagnier et al, (1987), menunjukkan tingginya kandungan Ca (10,50 me/100 g) pada tanah alluvial di San Alberto, Columbia menyebabkan rendahnya respon tanaman terhadap pemupukan K.
Dalam hal ini keberadaan pupuk majemuk merupakan salah satu alternative yang perlu dipertimbangkan pekebun. Pupuk majemuk memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk tunggal, yaitu lebih praktis dalam pemasaran, transportasi, penyimpanan, dan aplikasinya di lapangan karena satu jenis pupuk majemuk mengandung keseluruhan atau sebagian besar hara yang dibutuhkan tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah dosis aplikasi pupuk majemuk harus selalu memperhatikan jumlah hara yang diperlukan tanaman.

6. Peluang pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pupuk organik.

Bahan organik yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit yang selama ini masih sering dianggap sebagai limbah merupakan sumber hara yang potensial bagi tanaman kelapa sawit, selain berfungsi sebagai bahan pembenah tanah. Bahan organik dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur tanah, kapasitas memegang air (water holding capacity) , dan sifat kimia tanah seperti KTK (Kapasitas Tukar Kation). Aplikasi kompos tandan kosong kelapa sawit pada percobaan di pot dapat meningkatkan KTK media tanah dari 20,6 mejadi 39,7 me/100 g tanah (Darmosarkoro, et.al),2001). Bahan organik juga mengandung unsur hara, sehingga aplikasi bahan organik juga berfungsi memperkaya hara tanah termasuk unsur hara makro. Selain itu bahan organik juga berfungsi sebagai bahan pembenah tanah.
Aplikasi bahan organik di lapangan dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur dan porositas tanah.
Pabrik kelapa sawit (PKS) akan menghasilkan minyak sawit mentah (MSM) dan limbah baik padat maupun cair. Limbah PKS, baik padat maupun cair memiliki potensi dan pemanfaatan sebagai pupuk. Setiap ton tandan buah segar (TBS) yang diolah di pabrik akan menghasilkan 220 kg TKS, 670 kg limbah cair, 120 kg serat mesocarp , 70 kg cangkang, dan 30 kg palm kernel cake (Singh, et al, 1990). Tandan kosong kelapa sawit (TKS) merupakan bahan organik yang mengandung 42,8 % C, 2,90% K2O, 0,80% N, 0,22% P2O5, 0,30% MgO dan unsusr‐unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51 ppm Zn. Setiap ton TKS mengandung unsur hara yang setara dengan 3 kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP dan 2 kg kiserit (Long, et al, 1987).
Khusus untuk limbah cair, PKS memiliki potensi menghasilkan limbah cair per ton TBS yang paling besar dibandingkan dengan limbah lainnya (sekitar 50%). Lubis dan Tobing (1989) menyatakan bahwa setiap proses produksi 1 ton MSM dihasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000‐60.000 mg/l. Limbah cair kelapa sawit (LCPKS) akan menjadi bahan pencemar bila dibuang ke sungai. Keadaan tersebut akan membahayakan kehidupan manusia dan sejumlah biota di sungai. Ditinjau dari segi kandungan haranya, setiap 1 ton limbah PKS mengandung hara setara dengan 1,56 kg Urea, 0,25 kg TSP, 2,50 kg MOP, dan 1,00 kg kieserite (Lubis dan Tobing, 1989). Limbah cair PKS disamping sebagai sumber hara makro dan mikro yang penting bagi tanaman juga merupakan sumber bahan organic yang dapat berperan pada perbaikan sifat kimia dan sifat fisik tanah antara lain peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) dan porositas tanah (Huan, 1987)

6.1. Aplikasi tandan kosong kelapa sawit (TKS)

Ketersediaan TKS cukup besar sejalan dengan peningkatan kapasitas PKS untuk menyerap TBS yang dihasilkan pekebun. Tandan kosong kelapa sawit yang dihasilkan antara 22‐23% dari jumlah TBS yang diolah (Singh, et al, 1989). Aplikasi TKS langsung sebagai mulsa pada pertanaman kelapa sawit merupakan salah satu alternativ pemanfaatan TKS yang mulai banyak dilakukan di beberapa kebun. Sebagai sumber bahan oragnik yang kaya unsur hara, penggunaan TKS sebagai mulsa diharapkan dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan kandungan hara tanah, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur tanah, aerasi dan kemampuan menahan air (water holding capacity) (Silver et al, 1997; RRIM, 1991).
Aplikasi TKS sebagai mulsa secara umum dilaporkan oleh Siahaan (1997) berpengaruh terhadap produksi TBS kelapa sawit. Aplikasi TKS dengan dosis 40 dan 60 ton TKS/ha/tahun sebagai mulsa tanpa aplikasi pupuk standar dapat meningkatkan produksi secara berturut‐turut 11% dan 13% di atas produksi kontrol (dilakukan pemupukan standar tetapi tanpa aplikasi TKS), sedangkan aplikasi 40 ton TKS/ha yang dikombinasikan dengan 60% dosis pupuk urea dan RP dari standar
kebun dapat meningkatkan produksi TBS sebesar 34% dari perlakuan standar. Besarnya kenaikan produksi pada tiap dosis TKS bergantung pada besarnya dosis pupuk standar yang ditambahkan. Perbaikan sifat tanah yang diperoleh dari aplikasi TKS secara umum berpengaruh terhadap peningkatan produksi TBS. Siahaan et, al (1997) melaporkan bahwa peningkatan produksi TBS dimulai pada tahun kedua setelah aplikasi, baik melalui peningkatan jumlah tandan per‐pohon maupun rerata berat tandan.

6.2 Aplikasi kompos TKS

Tandan kosong kelapa sawit mempunyai kadar C/N yang tinggi yaitu 45‐55. Hal ini dapat menurunkan ketersediaan N pada tanah karena N termobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Usaha penurunan kadar C/N dapat dilakukan dengan proses pengomposan sampai kadar C/N mendekati kadar C/N tanah. Pengomposan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai hara dan penurunan volume TKS. Kompos yang telah matang ditandai dengan nisbah C/N sebesar 10‐15. Proses pengomposan ini memerlukan waktu sekitar 6‐8 minggu. Lamanya proses dekomposisi TKS karena limbah tersebut banyak mengandung ligoselulosa yang sulit dekoposisi. TKS mengandung 45,95% selulosas, 16,49% hemiselulosa, dan 22,84 % lignin (Darnoko et.al, 1993).
Hasil penelitian aplikasi kompos pada pembibitan kelapa sawit menunjukkan bahwa penambahan kompos TKS pada pembibitan utamam dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Diameter batang bibit meningkat 18‐33% terhadap perlakuan tanpa aplikasi kompos, sedangkan tinggi bibit meningkat 16‐26% terhadap perlakuan tanpa aplikasi kompos. Kombinasi perlakuan aplikasi kompos TKS sebesar 5% dan pupuk standar pembibitan sebesar 50% menunjukkan perbedaan yang nyata lebih tinggi terhadap bobot kering bibit dibandingkan dengan perlakuan pupuk standar sebesar 100% (tanpa kompos). Sementara bobot kering bibit meningkat hingga 65% terhadap perlakuan pemupukan 100% standar pembibitan kelapa sawit.
Kompos TKS dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah yang meningkatkan efektivitas pemupukan, selain sebagai sumber unsur hara bagi tanaman. Selain digunakan pada tanaman kelapa sawit, kompos TKS juga dapat digunakan pada tanaman semusim atau hortikultura. Hasil penelitian Darnoko dan Sembiring (2005) menunjukkan bahwa aplikasi 4 ton kompos TKS/ha dapat meningkatkan produksi padi sebesar 5% terhadap kontrol tanpa kompos. Sementara kompos TKS juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara pada tanaman cabe maupun jeruk manis.

6.3. Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Pemanfaatan limbah cair sebagai pupuk/bahan pembenah tanah di perkebunan kelapa sawit sangat dimungkinkan atas dasar adanya kandungan hara dalam limbah
tersebut. Pemanfaatan limbah ini disamping sebagai sumber pupuk/bahan organik juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah sebesar 50‐60% (Pamin, et al, 1996)
Berbagai hasil penelitian dan pengamatan aplikasi limbah cair pada perkebunan kelapa sawit umumnya melaporkan bahwa aplikasi tersebut secara nyata dapat meningkatkan produksi kelapa sawit (Tabel 3). Hasil percobaan PPKS menunjukkan bahwa kombinasi pemberian limbah cair dengan dosis 12,66 mm ECH per‐bulan dengan pupuk organik sebanyak 50% dari dosis standar kebun, dapat meningkatkan produksi tandan buah segar (TBS) sebesar 36% dibanding pada perlakuan tanpa aplikasi limbah cair dengan aplikasi pupuk standar kebun 100%.
PT. PN III juga telah melakukan aplikasi limbah cair PKS di beberapa kebun antara lain kebun Aek Nabara Selatan, Sisumut, Torgamba dan Sei Baruhur. Dosis aplikasi limbah yang digunakan adalah 10 cm ECH/ha/th dengan frekuensi aplikasi setiap dua bulan (setiap aplikasi 185 m3/ha) dan pemberian pupuk an‐organik dosis standar.

Kenaikan produksi TBS tersebut disebabkan oleh adanya kenaikan kedua komponen produksi yaitu jumlah tandan dan bobot tandan. Berdasarkan hasil penelitian PPKS, dosis aplikasi limbah cair yang dianjurkan adalah 12,66 mm ECH/bulan yang dikombinasikan dengan 50% dosisi pupuk standar kebun. Dosis 12,66 mm ECH/bulan setara dengan 126.000 liter/ha.

7. Penutup

Aplikasi pupuk majemuk merupakan salah satu alternative dalam menjamin keseimbangan hara dalam aplikasi pemupukan. Aplikasi pupuk majemuk hendaknya tetap mengacu pada kebutuhan hara tanaman. Sementara pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit menjadi langkah penting dalam menyikapi semakin meningkatnya harga pupuk. Aplikasi pupuk organik dari limbah kelapa sawit telah banyak diterapkan pekebun guna meningkatkan efektifitas pemupukan, sekaligus sebagai sumber hara bagi tanaman. Selain dapat digunakan pada perkebunan kelapa sawit, pupuk organik dari limbah kelapa sawit juga dapat digunakan pada tanaman pertanian lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar