Selasa, 26 Mei 2009

DISAAT HARGA SAWIT TURUN, PENGUSAHA HARUS BERBAGI UNTUNG DENGAN PETANI.


Pemerintah meminta para pengusaha atawa eksportir minyak sawit mentah (CPO) berbagi untung dengan petani kelapa sawit ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah.

Karena sebagian besar produksi CPO ditujukan untuk pasar ekspor. Adanya penurunan nilai rupiah memberikan manfaat buat para eksportir. Sehingga, pendapatan mereka jadi lebih tinggi dalam rupiah. Mereka mengimbau pengusaha agar segera mentransmisikan benefit yang mereka dapat ke petani, agar jangan dinikmati sendiri.

Harga tandan buah segar (TBS) sawit di beberapa tempat seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Barat dilaporkan memang berangsur membaik mencapai Rp570-Rp750 per kg.

Namun, harga itu belum sesuai harapan petani yang menginginkan harga di atas Rp800 per kg. Sebelumnya harga TBS terperosok hingga Rp300 per kg bahkan hingga Rp150 per kg.

Sementara, harga CPO saat ini berdasar patokan di Medan mencapai Rp5.160 per kg, sebelum krisis harga mencapai Rp11.000 per kg.

Semua orang yang bergerak di bidang usaha sawit pasti mengetahui bahwa bisnis bidang itu mencapai sekitar 20 tahun dan bukan harian, fluktuasi harga akan kerap kali terjadi, tapi masih banyak prospek yang terjadi di 2009 ini.

Harga minyak dunia tidak akan terus bertahan di bawah 50 dollar, tetapi akan naik sehingga permintaan terhadap CPO nantinya juga naik. Pada 2009 kita mulai full speed dalam penyerapan bahan bakar nabati (BBN) termasuk CPO sehingga kebutuhannya cukup banyak. Itu akan membuat harga naik, demand akan terkoreksi baik di 2009.

Di memperkirakan, prospek harga CPO pada 2009 akan tetap baik dan tingkat serapan untuk industri hilirnya juga akan terus meningkat. Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan seperti kewajiban penggunaan BBN, saat ini harganya sudah meningkat 10-15 persen.

PERJUANGAN PETANI SAWIT, PERJUANGAN SEIMBANGKAN LINGKUNGAN

Pertemuan 50 petani kelapa sawit Indonesia dan Papua Nugini yang membicarakan posisi mereka dalam rantai produksi sawit, merupakan bagian dari perjuangan menjaga alam ini tetap seimbang.

Lebih dari itu, pertemuan pendahuluan Task Force on Smallholders (Kelompok Kerja Petani Kecil) sebelum sesi utama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ini membuka ruang bagi petani untuk masuk ke dalam proses produksi dan menempatkan mereka setara dengan kelompok lainnya dalam proses sertifikasi.

Norwan Jiwan, peneliti dari Sawit Watch berharap pertemuan itu dapat memastikan Prinsip dan Kriteria yang ditetapkan RSPO sesuai untuk situasi para smallholder yang rumit dan beragam sesuai situasi yang dihadapi.

Standar generik yang ditetapkan RSPO dipandang oleh ketua-ketua Gugus Tugas tidak praktis. Menurut mereka panduan generik tentang smallholder harus dihentikan, sampai dengan ada modalitas yang disepakati untuk sertifikasi kelompok smallholder mandiri dan telah diuji coba untuk melihat apakah sesuai dengan realitas smallholder

Menurut petani, tidak mudah untuk memiliki dokumentasi yang sama untuk diperiksa oleh auditor. Tantangan utama Sertifikasi diantaranya bagaimana mengembangkan protocol, bagaimana berkomunikasi dengan petani sawit tentang hal ini, bagaimana mengorganisirnya dan apa saja persyaratan yang diperlukan untuk melakukan pemasaran gabungan.

Jiwan menegaskan, pendekatan sertifikasi yang ditetapkan RSPO harus berdasarkan pada pendekatan pabrik dan sumber penyedia bahan mentah. Perlu dibedakan dengan pendekatan lain, dengan pendekatan ini, artinya apa pun materi yang masuk ke dalam pabrik harus dapat dilacak dari mana asalnya.

Dalam pertemuan itu petani membahas isu yang dihadapi sehari-hari dan memahami bagaimana dunia melihat posisi petani sawit. Situasi yang dihadapi petani sawit alami tidak lepas dari kepentingan pasar, seperti saat lalu harga sempat turun dan kini kurang stabil karena kepentingan pasar sangat dominan.

Diskusi dalam Gugus Tugas Petani meninjau kembali kesesuaian Prinsip dan Kriteria yang dikeluarkan oleh RSPO untuk petani (smallholder) dan memformulasikan usulan yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi petani sekarang.

Kalau prinsip dan kriteria sesuai dengan kondisi petani sawit, bisa dipastikan masih banyak petani sawit yang dapat terlibat langsung dalam produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan.

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) merupakan prakarsa yang dibentuk para pelaku bisnis, yang terlibat dalam produksi, pemrosesan dan penjualan minyak kelapa sawit bersama LSM lingkungan dan sosial sebagai tanggapan atas kritik bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab utama penggundulan hutan dan prosesnya seringkali tidak mempedulikan hak-hak, sumber penghidupan atau kesejahteraan dan hak-hak para pekerjanya dan petani plasma (smallholder).

Senin, 25 Mei 2009

Pemerintah Akan Membangun Lembaga Riset Kelapa Sawit Berskala Besar


Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit. Untuk menghadapi persaingan industri kelapa sawit yang makin gencar sekarang ini, dalam waktu dekat pemerintah akan membangun Lembaga Riset dan Pengembangan Kelapa Sawit berskala besar. “Lembaga ini nantinya akan berstatus BUMN,”demikian diungkapkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono seusai memimpin rapat Dewan Pengarah Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang didampingi oleh Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani dan Ketua DMSI Franky Widjaja. Rapat ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan kelapa sawit, mulai dari pemerintah, pengusaha, sampai petani.

Melalui lembaga riset ini menurut Menteri Pertanian, pemerintah akan berupaya mengembangkan segala bentuk teknologi kelapa sawit mulai dari perbenihan hingga ke industri turunana minyak sawit (down stream industry). Sedangkan mengenai pengaturan soal substansi riset dan pengembangan menurut Menteri Pertanian akan digodok di dalam sebuah Konsorsium Sawit. Konsorsium ini terdiri dari berbagai unsur, seperti pemerintah, BUMN maupun swasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Untuk mendukung konsorsium sawit ini pemerintah akan menyiapkan dana Rp. 3 miliar per tahun.

KELAPA SAWIT

Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit kedua dunia setelah Malaysia, namun proyeksi ke depan memperkirakan bahwa pada tahun 2009 Indonesia akan menempati posisi pertama.Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.

Pemerian botani

Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.

Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.

Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar.

Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan.

Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya.

Buah terdiri dari tiga lapisan:

  • Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
  • Mesoskarp, serabut buah
  • Endoskarp, cangkang pelindung inti

Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.

Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Syarat hidup

Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memperngaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

Tipe kelapa sawit

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama adalah yang pertama kali dan terluas dibudidayakan orang. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik.

Penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari

  • Dura,
  • Pisifera, dan
  • Tenera.

Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.

Untuk pembibitan massal, sekarang digunakan teknik kultur jaringan.


Hasil tanaman

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keuunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.[1]

Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.

Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.

Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90°C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.

Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.

Sejarah perkebunan kelapa sawit

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1911.

Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.[2]

Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).

Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.

Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.