Selasa, 27 Juli 2010

Menghitung Potensi Bioetanol dari TKKS

Penelitian bioetanol dari tankos sawit alias TKKS sudah bisa mendapatkan sirup gula. Meskipun hasil ini belum optimal dan sekarang sedang kerja keras untuk meningkatkan yieldnya, tetapi hasil ini cukup memberikan sinar terang benderang. Maksudde, bioetanol dari TKKS sangat menjanjikan.

Dari hasil yang sudah ada, aku iseng-iseng menghitung berapa potensi etanol yang bisa dihasilkan? Dan, apakah hasilnya menarik secara ekonomi? Bagaimana prospeknya ke depan? Dan yang terpenting, apa saja yang mesti kita lakukan sebelum bisa sampai ke industri.

Kita seperti kejar-kejaran dengan ‘orang luar’, mereka juga sangat berambisi membuat etanol dari kayu. Kalau teknologi ini ditemukan dalam waktu yang lebih cepat. Indonesia bisa jadi negara terbesar yang memproduksi etanol dari kayu. [....mimpi mood....]

Dengan hitung-hitungan yang paling pesimis saja, mulai dari efisiensi pretreatment, efisiensi hidrolisis, efisiensi distilasi & dehidrasi, angka yang keluar tetap sangat menjanjikan.

Catatan: Ini hitungan-hitungan kasar dan berdasarkan asumsi khayalan. Jadi bukan berdasarkan data empirik. Data empiriknya mengikuti perkembangan penelitian yang sedang dikerjakan.

Dalam mimpiku (katakan saja begitu), dari setiap 1 ton TKKS (kering) bisa dihasilkan kurang lebih 100 kg etanol bahan bakar (EFG = Ethanol Fuel Grade). Padahal di sebuah pabrik yang cukup besar, tkks yang dihasilkan per hari bisa mencapai 200 ton basah. Anggap saja kalau kering ada 100 ton. Jadi, per hari bisa diproduksi sekitar 10.000 kg etanol alias 10 ton etanol.

Kita pakai harga paling jelek, harga yang ditawarkan oleh Pertamina. Pertamina kabarnya menghargai EFG dengan harga Rp. 6000/kg. [Menurutku pertamina gendeng banget, etanol industri aja yang kadar 95% harganya 2 kali lipat].

Jadi dalam satu hari omzetnya bisa mencapai:

= 10.000 kg x Rp. 6.000/kg = Rp 60.000.000

Pengusaha sawit mana yang ngak ngiler lihat angka ini….??????

Coba mimpinya diperbesar lagi sampai tingkat nasional. Dalam perkiraanku produksi TKKS nasional mencapai 19.6 juta ton. Jadi potensi bioetanol yang bisa diproduksi adalah:

= 10% x 19.6 juta ton = 1,96 juta ton atau 1.960.000.000 kg bioetanol fuel grade

Nilai ekonominya, dengan harga pertamina yang mengerikan bin mengenaskan bin mengecewakan, adalah:

= Rp. 6.000 x 1.960.000.000 kg = Rp. 11.760.000.000.000 alias Rp. 11.76 trilyun

Kalau bioetanol ini semuanya digunakan untuk dicampur dengan bensin, misalnya saja E10, maka volume E10nya mencapai (agar mudah anggap aja bj-nya 1):

19,6 juta liter

Saya ngak tahu, jumlah ini cukup ngak untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Tetapi kalau dilihat angkanya akan sangat signifikan.

Menyulap limbah tankos sawit (TKKS) menjadi bioetanol masih memerlukan jalan yang sangat panjang dan berliku-liku. Tetapi, mimpi-mimpiku di atas semakin mengobarkan semangatku, kalau ini bukan hanya sekedar mimpi.

By. Isro Tanpa L _Berbagi Tak Pernah Rugi.

Bioetanol dari TKKS: sirup gula dari tankos sawit

Hari ini aku merasa seneng sekali. Tadi pagi sampai siang, kami tim penelitian bioetanol TKKS (tandan kosong kelapa sawit), mahasiswa dan pembimbing mendiskusikan hasil-hasil penelitian yang telah kami capai. Meskipun masih hasil awal, ada satu penelitian yang membuatku senang sekali, karena kami maju satu langkah lagi untuk membuat bioetanol dari TKKS.

teknologi bioetanol selulosa

Tapahan bioetanol selulosa seperti gambar di atas. Percobaan pretreatment awal kami sudah mendapatkan TKKS yang sudah dipretreatment. Kemudian oleh temen, Sukondo Jati, TKKS ini dihidrolisis untuk mendapatkan gula. Hasilnya ternyata sangat mengembirakan sekali.

sirup bioetanol tkks sukondo jati
Sukondo jati dan sirup TKKS-nya.

Jati melakukan hidrolisis TKKS dan mendapatkan hasil gula yang tinggi. Jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan di jurnal-jurnal ilmiah. Yield-nya (dari bahan baku) lebih dari tiga puluh persen. Konsentrasi gulanya juga lebih tinggi dari yang di jurnal-jurnal. Luar biasa dan melebihi ekpektasi kami.

Gula ini ditest dengan test sederhana: semut. Ada pepatah yang mengatakan bahwa ADA GULA ADA SEMUT. Kalau pepatah ini benar, seharusnya sirup TKKS-nya dikerubuti semut. Dan hasilnya, pasukan semut dengan sigap menyerbu sirup TKKS ini.

sirup tkks dikerubuti semut

sirup tkks dikerubuti semut

sirup tkks dikerubuti semut

Hasil-hasil penelitian ini akan dipresentasikan di seminar tentang bioenergi di RRC oleh Jati. Sukses berat, Jati.
Keep spirit…..!!!!!!

[Mohon maaf data dan metode belum bisa ditampilkan, karena belum dipublikasikan secara resmi]

Posted in Bioethanol, Lignoselulosa, Limbah Perkebunan, Literatur, MyResearch. Tags: , , , , , , , , , .

Rabu, 06 Januari 2010

Bank Dunia melanggar standarnya sendiri membangun sektor kelapa sawit di Indonesia

Cabang sektor swasta Bank Dunia – International Finance Corporation (IFC) – telah membiarkan kepentingan komersial menggantikan standar sosial dan lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit di Indonesia, sebuah audit internal mengungkapkan.
Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut dimana-mana, emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat adat.

Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut, karena proyek-proyeknya yang terdahulu dan peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi non pemerintah, IFC tetap meneruskan pinjamanan kepada Wilmar palm oil trading group, melanggar standar-standarnya sendiri, menurut laporan audit tersebut. IFC gagal menilai rantai pemasok (supply chains) atau melihat dampak merusak perkebunan-perkebunan anak perusahaan tersebut yang mengambil-alih tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.

Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC: tidak hanya harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC juga harus memeriksa kekawatiran soal darimana perusahaan-perusahaan yang IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka. Minyak sawit merupakan salah satu contoh komoditas yang diproduksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.

Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting dikeluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu laporan lengkap yang disampaikan oleh Forest Peoples Programme dan koalisi 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk Sawit Watch dan Gemawan.

Norman Jiwan dari NGO pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat:

Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat tanpa keputusan bebas, dididahulukan dan diinformasikan dari mereka, memicu konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan standar-standarnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringatan kami terdahulu.

Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan:

Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Standar-standar IFC menwajibkan ini. Tetapi mereka mengedepankan kepentingan bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat dirampas demi minyak sawit yang murah dalam pasar internasional. Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak dengan semena-mena, dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.

Marcus Colchester Direktur Forest Peoples Programme menambahkan:

Kami puas bahwa laporan audit ini membuktikan secara lengkap bahwa semua keprihatinan utama kami, juga tanggapan dari Manajemen IFC terhadap audit tersebut menyarankan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu dengan berbeda. Tetapi kami masih agak kecewa. Kami harus menunggu lebih dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan sungguh-sungguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran hutan dan pelanggaran hak asasi manusia, kami mendesak Presiden IFC untuk mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan pernah terjadi lagi.

"Konversi Lahan Gambut jadi Kebun Sawit Percepat Pemanasan Global"

Di sela-sela pertemuan resmi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung dari tanggal 2-4 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia, Sawit Watch menggelar konferensi pers yang dihadiri beberapa wartawan media cetak dan elektronik dari Indonesia dan Malaysia.

Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch menyebutkan tujuan terbentuknya RSPO adalah mengikat komitmen banyak pihak, terutama perusahaan perkebunan kelapa sawit agar tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan dalam penyelenggaraan perkebunan sawit.

"Para anggota RSPO harus mematuhi Prinsip dan Kriteria serta Indikator berkelanjutan yang sudah disepakati bersama. Jadi hal lumrah bila banyak pihak di luar bahkan di dalam forum ini sendiri berharap, berkesempatan bahkan menantang RSPO segera menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit, " lanjut Abet Nego Tarigan.

Sementara itu Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Berry Nahdian Furqan, mengatakan, "Sejak RSPO ada dari tahun 2003 hingga saat ini, persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit skala besar belum juga terselesaikan. Saya khawatir pertemuan ini hanya untuk bercakap-cakap saja diantara banyak pihak tanpa menyelesaikan persoalan. Seharusnya RSPO bisa menjamin hak masyarakat adat atau lokal dari perluasan kebun sawit. Juga mampu memaksa
anggotanya untuk tidak lagi membuka kebun di kawasan hutan dan lahan gambut,"

Sehubungan dengan pernyataan Sawit Watch dan Walhi, Bambang Hero Saharjo dari Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor, menjelaskan berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Sawit Watch didapati fakta dan data bahwa pembukaan kebun sawit di lahan gambut akan mempercepat
pemanasan global akibat terlepasnya gas rumah kaca, terutama karbondioksida (CO2) yang tersimpan di gambut.

"Berdasarkan penelitian kami di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, kebun kelapa sawit yang ditanam di tanah mineral selama 25 tahun hanya mampu menyerap 130 ton CO2 eq/ha. Kalaupun bervariasi maka kemungkinan besar tidak akan lebih dari 180 ton CO2 eq, mengingat kandungan karbon pada bagian atas permukaan tanah di kebun kelapa sawit adalah 39,94 ton / ha atau setara dengan146,58 ton CO2 eq./ha."

Bambang melanjutkan, "Emisi GRK yang realistik dari lahan gambut yang terdrainase adalah 25-55 ton CO2-eq/ha/tahun atau sekitar 625-1375 ton CO2-eq untuk selama 25 tahun. Sementara untuk tipe penggunaan lahan alang-alang pada kedalaman 0-30 cm total kandungan karbonnya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada areal bekas pembalakan dan areal bekas terbakar yaitu 252,855 ton/ha atau setara dengan 927,98 ton CO2 eq./ha selama 25 tahun. Jadi konversi lahan gambut jadi perkebunan sawit jelas akan mempercepat pemanasan global. Kalaupun harus ekspansi, sebaiknya kebun sawit ditanam di daerah alang-alang."