Rabu, 06 Januari 2010

Bank Dunia melanggar standarnya sendiri membangun sektor kelapa sawit di Indonesia

Cabang sektor swasta Bank Dunia – International Finance Corporation (IFC) – telah membiarkan kepentingan komersial menggantikan standar sosial dan lingkungan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada sektor kelapa sawit di Indonesia, sebuah audit internal mengungkapkan.
Kelapa sawit telah sama dengan pembabatan hutan dan lahan gambut dimana-mana, emisi CO2 besar-besaran dan pencurian tanah-tanah masyarakat adat.

Walaupun IFC tahu semua resiko tersebut, karena proyek-proyeknya yang terdahulu dan peringatan-peringatan dari organisasi-organisasi non pemerintah, IFC tetap meneruskan pinjamanan kepada Wilmar palm oil trading group, melanggar standar-standarnya sendiri, menurut laporan audit tersebut. IFC gagal menilai rantai pemasok (supply chains) atau melihat dampak merusak perkebunan-perkebunan anak perusahaan tersebut yang mengambil-alih tanah-tanah dan hutan di Kalimantan dan Sumatra.

Temuan-temuan tersebut memiliki beberapa implikasi bagi IFC: tidak hanya harus menerapkan standar-standarnya sendiri lebih berhati-hati tetapi IFC juga harus memeriksa kekawatiran soal darimana perusahaan-perusahaan yang IFC danai mendatangkan bahan-bahan baku mereka. Minyak sawit merupakan salah satu contoh komoditas yang diproduksi bertentangan dengan kaidah-kaidah.

Temuan-temuan ini bersumber dari laporan audit yang sangat penting dikeluarkan oleh Compliance Advisory Ombudsman dari IFC yang memeriksa satu laporan lengkap yang disampaikan oleh Forest Peoples Programme dan koalisi 19 organisasi masyarakat sipil Indonesia, termasuk Sawit Watch dan Gemawan.

Norman Jiwan dari NGO pemantau Indonesia, Sawit Watch, mencatat:

Ketika kami menyampaikan laporan kami mencatat bahwa anak-anak perusahaan Wilmar menggunakan api secara ilegal untuk membersihkan hutan primer dan kawasan bernilai konservasi tinggi dan merampas tanah-tanah masyarakat adat tanpa keputusan bebas, dididahulukan dan diinformasikan dari mereka, memicu konflik-konflik yang gawat. Laporan ini menunjukan bahwa IFC menggantikan standar-standarnya sendiri dan mengabaikan peringatan-peringatan kami terdahulu.

Dalam menanggapi laporan tersebut Lely Khairnur dari Gemawan mengatakan:

Pembangunan berarti mengutamakan kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Standar-standar IFC menwajibkan ini. Tetapi mereka mengedepankan kepentingan bisnis dan membiarkan tanah-tanah rakyat dirampas demi minyak sawit yang murah dalam pasar internasional. Masyarakat dan hutan milik mereka dirusak dengan semena-mena, dan akhirnya seluruh planet bumi menderita.

Marcus Colchester Direktur Forest Peoples Programme menambahkan:

Kami puas bahwa laporan audit ini membuktikan secara lengkap bahwa semua keprihatinan utama kami, juga tanggapan dari Manajemen IFC terhadap audit tersebut menyarankan mereka sekarang akan mencoba melakukan segala sesuatu dengan berbeda. Tetapi kami masih agak kecewa. Kami harus menunggu lebih dari lima tahun baru IFC menangani persoalan tersebut dengan sungguh-sungguh. Dengan mempertimbangkan pentingnya menghentikan kehancuran hutan dan pelanggaran hak asasi manusia, kami mendesak Presiden IFC untuk mengambil langkah-langkah pro-aktif untuk memastikan bahwa ini tidak akan pernah terjadi lagi.

"Konversi Lahan Gambut jadi Kebun Sawit Percepat Pemanasan Global"

Di sela-sela pertemuan resmi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung dari tanggal 2-4 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia, Sawit Watch menggelar konferensi pers yang dihadiri beberapa wartawan media cetak dan elektronik dari Indonesia dan Malaysia.

Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch menyebutkan tujuan terbentuknya RSPO adalah mengikat komitmen banyak pihak, terutama perusahaan perkebunan kelapa sawit agar tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan dalam penyelenggaraan perkebunan sawit.

"Para anggota RSPO harus mematuhi Prinsip dan Kriteria serta Indikator berkelanjutan yang sudah disepakati bersama. Jadi hal lumrah bila banyak pihak di luar bahkan di dalam forum ini sendiri berharap, berkesempatan bahkan menantang RSPO segera menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit, " lanjut Abet Nego Tarigan.

Sementara itu Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Berry Nahdian Furqan, mengatakan, "Sejak RSPO ada dari tahun 2003 hingga saat ini, persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit skala besar belum juga terselesaikan. Saya khawatir pertemuan ini hanya untuk bercakap-cakap saja diantara banyak pihak tanpa menyelesaikan persoalan. Seharusnya RSPO bisa menjamin hak masyarakat adat atau lokal dari perluasan kebun sawit. Juga mampu memaksa
anggotanya untuk tidak lagi membuka kebun di kawasan hutan dan lahan gambut,"

Sehubungan dengan pernyataan Sawit Watch dan Walhi, Bambang Hero Saharjo dari Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor, menjelaskan berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Sawit Watch didapati fakta dan data bahwa pembukaan kebun sawit di lahan gambut akan mempercepat
pemanasan global akibat terlepasnya gas rumah kaca, terutama karbondioksida (CO2) yang tersimpan di gambut.

"Berdasarkan penelitian kami di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, kebun kelapa sawit yang ditanam di tanah mineral selama 25 tahun hanya mampu menyerap 130 ton CO2 eq/ha. Kalaupun bervariasi maka kemungkinan besar tidak akan lebih dari 180 ton CO2 eq, mengingat kandungan karbon pada bagian atas permukaan tanah di kebun kelapa sawit adalah 39,94 ton / ha atau setara dengan146,58 ton CO2 eq./ha."

Bambang melanjutkan, "Emisi GRK yang realistik dari lahan gambut yang terdrainase adalah 25-55 ton CO2-eq/ha/tahun atau sekitar 625-1375 ton CO2-eq untuk selama 25 tahun. Sementara untuk tipe penggunaan lahan alang-alang pada kedalaman 0-30 cm total kandungan karbonnya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada areal bekas pembalakan dan areal bekas terbakar yaitu 252,855 ton/ha atau setara dengan 927,98 ton CO2 eq./ha selama 25 tahun. Jadi konversi lahan gambut jadi perkebunan sawit jelas akan mempercepat pemanasan global. Kalaupun harus ekspansi, sebaiknya kebun sawit ditanam di daerah alang-alang."