Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch menyebutkan tujuan terbentuknya RSPO adalah mengikat komitmen banyak pihak, terutama perusahaan perkebunan kelapa sawit agar tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menjaga keberlanjutan lingkungan dalam penyelenggaraan perkebunan sawit.
"Para anggota RSPO harus mematuhi Prinsip dan Kriteria serta Indikator berkelanjutan yang sudah disepakati bersama. Jadi hal lumrah bila banyak pihak di luar bahkan di dalam forum ini sendiri berharap, berkesempatan bahkan menantang RSPO segera menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit, " lanjut Abet Nego Tarigan.
Sementara itu Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Berry Nahdian Furqan, mengatakan, "Sejak RSPO ada dari tahun 2003 hingga saat ini, persoalan sosial dan lingkungan yang muncul akibat perkebunan sawit skala besar belum juga terselesaikan. Saya khawatir pertemuan ini hanya untuk bercakap-cakap saja diantara banyak pihak tanpa menyelesaikan persoalan. Seharusnya RSPO bisa menjamin hak masyarakat adat atau lokal dari perluasan kebun sawit. Juga mampu memaksa
anggotanya untuk tidak lagi membuka kebun di kawasan hutan dan lahan gambut,"
Sehubungan dengan pernyataan Sawit Watch dan Walhi, Bambang Hero Saharjo dari Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor, menjelaskan berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Sawit Watch didapati fakta dan data bahwa pembukaan kebun sawit di lahan gambut akan mempercepat
pemanasan global akibat terlepasnya gas rumah kaca, terutama karbondioksida (CO2) yang tersimpan di gambut.
"Berdasarkan penelitian kami di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, kebun kelapa sawit yang ditanam di tanah mineral selama 25 tahun hanya mampu menyerap 130 ton CO2 eq/ha. Kalaupun bervariasi maka kemungkinan besar tidak akan lebih dari 180 ton CO2 eq, mengingat kandungan karbon pada bagian atas permukaan tanah di kebun kelapa sawit adalah 39,94 ton / ha atau setara dengan146,58 ton CO2 eq./ha."
Bambang melanjutkan, "Emisi GRK yang realistik dari lahan gambut yang terdrainase adalah 25-55 ton CO2-eq/ha/tahun atau sekitar 625-1375 ton CO2-eq untuk selama 25 tahun. Sementara untuk tipe penggunaan lahan alang-alang pada kedalaman 0-30 cm total kandungan karbonnya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada areal bekas pembalakan dan areal bekas terbakar yaitu 252,855 ton/ha atau setara dengan 927,98 ton CO2 eq./ha selama 25 tahun. Jadi konversi lahan gambut jadi perkebunan sawit jelas akan mempercepat pemanasan global. Kalaupun harus ekspansi, sebaiknya kebun sawit ditanam di daerah alang-alang."
Rabu, 06 Januari 2010
"Konversi Lahan Gambut jadi Kebun Sawit Percepat Pemanasan Global"
Di sela-sela pertemuan resmi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlangsung dari tanggal 2-4 November 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia, Sawit Watch menggelar konferensi pers yang dihadiri beberapa wartawan media cetak dan elektronik dari Indonesia dan Malaysia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar